Jumat, 24 Mei 2013

Sejarah KARE Ri' Bontonompo

Salah satu daerah yang masuk dalam distrik ini adalah Kekarean Bontonompo. Kekarean ini dipimpin oleh pejabat yang bergelar Kare, yang awalnya mengakui sebagai bagian dari kekuasaan Karaeng Loe ri Katingang. Setelah Katingan Kalah oleh Gowa yang saat itu dipimpin oleh Somba Tumapa’risika Kallonna, maka otomatis wilayah ini berpindah ke Kerajaan Gowa, kemudian berpindah ke Karaeng Sanrobone yang telah menjadi sekutu kerajaan Gowa. Kekarean Bontonompo, kemudian dimasukkan dalam kekuasaan Gallarrang Manuju. Selanjutnya wilayah ini kemudian secara sepihak diserahkan sebagai hadiah kepada anak Raja Lemo Appa saat melakukan perburuan sekitar tahun 1669.
Jabatan Kare kemudian dihapuskan, setelah I Yuseng Daeng Mallingkai Kare Bontonompo gugur saat melakukan perlawanan melawan kerajaan Gowa dalam perang Mangngasa pada tahun 1868. Selanjutnya kepemimpinan tertinggi di Bontonompo disebut Anrongguru, sehingga praktis Kare terakhir dijabat oleh Kare I Yuseng Daeng Mallingkai. Usai perang Mangngasa, pihak kerajaan Gowa menunjuk seorang putera raja Gowa yang saat itu di jabat oleh I Kumala Karaeng lembang Parang, Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid Tumenaga ri Kakuasanna. Putera Sombaya yang di tunjuk sebagai Anrong Guru pertama Bontonompo tersebut adalah I Mappatunru Karaengta ri Bura’ne.
Berselang setahun kemudian, sekira tahun 1870, pihak kerajaan Gowa menunjuk dan mengangkat anak Kare I Yuseng, yakni I Poli Daeng Mannyarrang sebagai Anrongguru Bontonompo kedua. Dimasa pemerintahannya, sekitar tahun 1872 bersama dengan I Mappatunru Karaengta ri Bura’ne membangun sebuah masjid di kampung Camba Jawaya/Lompo Masigi (baca; Mesjid), di atas tanah miliknya yang diwakafkan. Untuk mengenang pembangunan mesjid tersebut, maka tanah yang berseberangan dengan lokasi masjid tersebut diberi nama Tanete Katangka, sebagai penjelmaan kampung Katangka tempat berdirinya Masjid pertama di wilayah Gowa atau Lakiung.
Anrong Guru Poli Daeng Mannyarrang, kemudian digantikan oleh anaknya yakni I Mannarai Daeng Mangngemba sebagai Anrong Guru ketiga. Ia kemudian mengemban amanah untuk menentukan batas antara Bone dan Gowa atau lazim di sebut Tirak Butta, untuk menghindari peperangan antara kedua kerajaan. Batas yang ditentukan bagi kedua kerajaan pada penentuan perbatasan tersebut adalah Sungai Tangke. Setelah Anrong Guru Mannarai menancapkan tapal batas antara kerajaan Gowa dan Bone. Ia kemudian membuat perkampungan. Saat itulah muncul ular berkepala dua, yang setelah ditebas hidup kembali. Setelah menebas sebanyak dua kali dan tetap hidup kembali, ia kemudian memanggil pengawal setianya, Bapak nembok untuk membawa kuku dan rambut ke Bontonompo.
Menurut cerita, Anrong Guru ketiga ini dimakamkan di perbukitan gantarang matinggi di daerah matajang Bone. Mengisi kekosongan pemerintahan selama beberapa bulan lamanya, ditunjuklah Anrong Guru I Saso Daeng Nakko yang juga adalah sepupu Anrong Guru Mannarai sebagai pejabat sementara. Setelah itu diangkatlah I Mannyaurang Daeng Sibali (kemenakan Anrong Guru Mannarai) sebagai Anrong Guru keempat, yang memerintah tahun 1905 – 1911. Anrong Guru Mannyaurang kemudian digantikan oleh I Mammuntuli Daeng Rombo sebagai Anrong Guru kelima. Ia adalah anak dari Anrongguru Mannarai daeng Mangemba dan menjabat tahun 1911 hingga 1927.
Dalam suatu pemilihan Anrongguru (Apijo’jo’ Anronguru), untuk pertama kalinya di gelar, terpilihlah I Mappase’leng Daeng Sija’ yang memerintah tahun 1927 hingga 1947 sebagai Anrongguru keenam. Setelah wafat, putra sulungnya I Mannangngarri Daeng Lassa terpilih oleh rakyat untuk menggantikannya sebagai Anrongguru ketujuh.
Dimasa pemerintahan Anrongguru Mannangarri, terjadi perang kemerdekaan melawan pemerintah Belanda yang ingin kembali menjajah bangsa Indonesia. Rupanya salah satu kelompok dengan segala kedok perjuangannya menginginkan posisi Anrongguru untuk diduduki.
Pada tahun 1950, Anrongguru Mannangngarri terbunuh oleh kelompok tersebut, dengan membuat opini bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh para perampok. Wafatnya Anrongguru Mannangarri, maka diadakanlah penunjukan terhadap diri I Sinring Daeng Lira, yang pada tahun 1951 diadakannya pemilihan dan ternyata terpilih kembali dan menduduki jabatan sebagai Anrongguru Bontonompo kedelapan. Pada saat yang sama yakni di tahun 1952, pihak kerajaan Gowa menarik Karaeng Bontonompo yang saat itu dijabat oleh Andi Machmud. Maka Anrongguru Sinring kemudian ditunjuk sebagai pejabat sementara kepala Distrik atau karaeng Bontonompo.
Pada tahun 1961, diadakan kembali pemilihan Anrongguru Bontonompo, dan terpilihlah I Patarai Daeng Ma’ruppa, putera I Mannyaurang Daeng Sibali sebagai Anrongguru kesembilan. Ia menjabat selama 26 tahun yakni sejak tahun 1961 hingga 1987. Dimasa pemerintahannyalah, jabatan Anrongguru berubah status menjadi Lurah. Setelah mencapai usia pensiun, maka ditunjuklah seorang puteranya yang bernama Drs, Mulyadharma Daeng Ngewa sebagai Lurah Bontonompo. Ia dilantik pada hari Kamis, 10 September 1987 oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gowa, Letkol. Inf A. Kadir Dalle di Kantor Kelurahan Bontonompo.
Dalam struktur pemerintahan Kekarean Bontonompo, Kare Bontonompo yang selanjutnya menjadi Anrongguru Bontonompo membawahi Punggawa Kalase’rena, Jannang Romang Lasa, Taipa Le’leng dan dua orang suro. Kedua Jannang dan Anrongguru dipilih oleh rakyat dan diangkat oleh Kepala Afdeling. Punggawa Kalase’rena memerintah bersama suronya Kampung kalase’rena. Kepada Jannang Romang Lasa diperbantukan suro-suro Romanglasa, Bontosalang dan Tanete. Suro Bontotangnga dan Darumung serta Salekowa memimpin 163 wajib pajak. Jannang Taipale’leng dengan suronya memerintah kampung-kampung Taipale’leng, Kalumpang, Bontokadieng dan Kokoa. Selain itu, Anrongguru Bontonompo dibantu oleh sejumlah suro, yakni : a.Suro untuk Borong Balla dan Bontocara’de b.Suro untuk Rappokaleleng, Giring-giring dan Pamase dan Sela c.Suro untuk Kampung Tamallaeng, Gongga dan Parang d.Suro untuk Kampung Bontonompo dan Bu’nea e.Suro untuk Kampung Katangka dan Tanetea f.Suro Untuk Kampung Cambajawaya, Bontomate’ne dan Parannaja g.Suro untuk Kampung Bontoratta dan Borongbo’dia Sejak tahun 1915, yakni saat I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhimuddin Tumenanga ri Sungguminasa, menjadi Somba Gowa ke 35.
Distrik Bontonompo tidak lagi memiliki kepala pemerintahan. Sehingga pemerintahan dijalankan oleh Kontrolir Takalar dan menyerahkan kepada Bestur Asisten. Jabatan ini dipangku oleh pribumi yang tidak dipilih oleh rakyat, tetapi ia diangkat dan dipecat oleh Gubernur Celebes, dan atau dengan kata lain bukan wakil rakyat. Selanjutnya struktur pemerintahan berubah mengikuti status perubahan Anrongguru menjadi Lurah Bontonompo. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi keluarga besar Kare I Yuseng Daeng Mallingkai, serta masyarakat pada umumnya.

Riwayat Gaukanga di Bontonompo

Gaukanga atau benda pusaka kerajaan milik kerajaan Bontompo adalah panji atau bendera dari kain sutera berwarna biru yang disekelilingnya bertuliskan ayat 255 Surah al Baqarah atau yang lazim disebut ayat Kursi. Karena kainnya dari sutera panji ini juga sering disebut Sa’be Tamammalisi’na Bontonompo, selainitu kerap juga di Jimaka. Setiap sudutnya bergambar dua segi tiga sama sisi yang saling bersilangan sehingga berbentuk menyerupai bintang. Dalam gambar bintang tersebut tertulis dalam aksara Arab, sahabat empat Rasulullah Muhammad SAW, yakni Ali, Abu Bakar, Umar dan Usman. Sementara di bagian tengahnya terlukis pedang zulfikar yang kedua ujungnya terbelah dua. Diceritakan secara turun temurun, Seorang raja Gowa atau yang lazim disebut Sombaya memperisterikan seorang puteri di wilayah Bonto Mate’ne, Bontonompo yang kemudian melahirkan seorang putera. Diperkirakan saat itu yang menjabat sebagai Sombaya adalah I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Sultan Malikussaid Tumenanga ri Papanbatuna (lahir : 11-12-1605, wafat : 6-11-1635). Beranjak dewasa, sang pemuda keturunan Sombaya ini, mempertanyakan siapa sesungguhnya ayahnya. ”Siapakah gerangan ayahku” tanya sang pemuda kepada ibundanya. “Ayahmu berada di Gowa, yang sementara ini duduk pada tahta kebesarannya (Sombaya)”, terang ibunya. Suatu ketika, saat diadakan pesta kebesaran di kerajaan Gowa, dimana semua orang berkunjungan untuk menyaksikan berbagai atraksi seperti raga. Sang pemuda tersebut membulatkan tekatnya untuk terlibat dalam atraksi sepak raga atau a’raga. Dalam abtraksinya a’raga, pemuda ini terlihat sangat terampil memainkan sikulit rotan dan menampilkan beberapa gerakan unik yang tidak dimiliki oleh pemuda lainnya. Karena keterampilannya inilah, sang baginda Raja Gowa memberikan perhatian khusus kepadanya. Ia pun mempertanyakan asal – usul pemuda tersebut, kepada orang kepercayaannya. “Siapa gerakan anak muda itu…?” tanya Sombaya. “Dia atanta Sombangku dari Bontonompo”, ujar orang kepercayaannya. Mendengar jawaban tersebut, Sombaya ri Gowa kembali teringat sesuatu, lalu memerintahkan kepada orang kepercayaannya tersebut untuk memanggil sang pemuda. Saat itulah terjadi dialog antara sang baginda dengan pemuda dari Bontonompo ini. Usai berdialog, Sombaya kemudian mengirim pemuda tersebut ke Arung Lemoape (Arung Lemo Appa), seorang tokoh yang terkenal dalam pengajaran ilmu agama Islam di Bone. Setelah beberapa tahun memperdalam memperdalam ilmu agamanya, ia kemudian mempersunting kemenakan Arung Lemoape, yang melahirkan dua putera bernama Kare Tulolo dan Kare Maddatuang. Setelah dewasa, keduanya ingin mengetahui asal muasal leluhur ayahnya. Setelah diberitahu tentang asal ayahnya, bahwa mereka berasal dari Gowa, keduanyapun berkeinginan untuk melihat wilayah tersebut. Sebelum keduanya berangkat, maka diadakanlah upacara pemberangkatan. Kepada Karaeng Tulolo dianugerahi tanda kebesaran “Nipisalingi” (sebilah keris) dan adiknya Kare Maddatuang dianugerahi “ Gaukanga “ berupa panji yang disebut Jimaka. Dalam perjalanan ke kampung leluhurnya, mereka singgah di sebuah wilayah bernama Tompo Biring, sebuah daerah yang secara geografis mirip dengan Lemoape. Kondisi ini membuat keduanya terharu, sehingga Kare Tulolo meminta kepada adiknya untuk tinggal ditempat tersebut, sementara dirinya kemudian melanjutkan perjalanan ke Gowa. Setelah menyusuri tebing dan lembah, sampailah Kare Tulolo di Pallangga dan bermukim di tempat tersebut cukup lama. Sementara Kare Maddatuang, karena hatinya tidak tenang, kemudian menyusul kakaknya yang akhirnya tiba di daerah Bontonompo. Kare Maddatuang disambut dengan penuh sukacita, setelah menuturkan asal – usulnya yang rupanya adalah keturunan Raja Gowa yang memperisterikan seorang puteri dari Bonto Mate’ne, Bontonompo. Ia kemudian menetap di wilayah tersebut, begitu juga dengan Gaukanga yang kemudian menjadi simbol kedaulatan Bontonompo yang tetap dilestarikan oleh keturunannya. Beberapa referensi dan atau catatan Belanda yang disadur oleh Manai Sopian diceritakan, bahwa Bontonompo sebagai pemerintahan berdaulat, setelah wilayah Bontonompo yang sebelumnya berada dalam pemerintahan Gallarrang Manuju, diserahkan secara sepihak sebagai hadiah kepada anak Raja Aru Lemo Appa, saat melakukan perburuan. Anak Raja Lemo Appa inilah, yang diperkirakan membawa Panji Jimaka yang selanjutnya menjadi Gaukanga ri Bontonompo. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1669, yakni sekira Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla pangkana mengundurkan diri sebagai Somba ri Gowa. Pelaksana tugas sebagai Somba saat itu, dijabat oleh I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tumenanga ri Passiringanna. Gaukanga ini pernah disita oleh pemerintah kerajaan Gowa, saat Kare I Yuseng gugur dalam perang Mangngasa. Gaukang ini lama berada di Kerajaan Gowa, dan disimpan oleh Anrong Guru Bontonompo yang pertama, I Mappatunru Karaengta Bura’ne. Kemudian menyerahkan ke adiknya untuk disimpan. Nanti pada saat Anrong Guru I Mannyaurang Daeng Sibali yang juga adalah cucu I Poli Daeng Mannyarrang menjadi penguasa, barulah Gaukanga dikembalikan, dan disimpan di rumah jabatan Anrong Guru yakni sekitar tahun 1905 – 1911. Sebuah kisah yang diceritakan orang – orang sebelumnya, disebutkan setelah Bendera kerajaan ini lama disimpan di kerajaan Gowa, suatu ketika Jimaka secara gaib menyatakan kepada Karaengta Burane agar dirinya dikembalikan ke Bontonompo. “Mengapa engkau menyimpan saya di sini?, kembalikan dan bawalah saya ke Bontonompo“. Atas kejadian tersebut, Karaengta ri Burane meminta kepada Angrong Guru Bontonompo menjemput Gaukanga di Lakiung Gowa. Saat itu Gaukanga dikembalikan ke Bontonompo dan ditempatkan di rumah jabatan Anrong Guru atau Balla Lompoa ri Bontonompo di kampung Bu’nea di kediaman Poli Daeng mannyarrang. Sekarang gaukanga disimpan di kediaman Hj. Aminah Daeng Pati di Bonto Cara’de kelurahan Tamallaeng, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, atau di Balla Lompoa Bontonompo.

Kare I Yuseng Daeng Mallingkai

Sekitar tahun 1860, Kare I Yuseng Daeng Mallingkai menjabat sebagai kepala pemerintahan Bontonompo dengan kalompoang dan atau benda pusaka kerajaan yang berada padanya di sebut Jimaka. Kalompoang ini adalah panji atau bendera kerajaan Bontonompo kain sutera berwarna biru yang bertuliskan ayat kursi yang menurut riwayat berasal dari Arung Lemo Apek, seorang penganjur agama Islam di Bone. Dalam perjalanan pemerintahannya, Kare I Yuseng Daeng Mallingkai menilai bahwa kepemimpinan Sombaya ri Gowa atau kaisar Gowa sudah tidak berpihak kepada rakyat Gowa. Saat itu Kerajaan Gowa dipimpin oleh Raja Gowa ke 32, I Kumala Karaeng Lembang Parang, Sultan Abdul Kadir Mohammad Aidit. Ia menilai, sang kaisar lebih memenuhi kepentingan kolonial Belanda dalam setiap kebijakan politiknya dibanding terhadap rakyat Gowa. Kare I Yuseng pun mulai menjalin kekuatan dengan sesama raja bawahan dan atau disebut Karaeng palili yang se ide dengannya. Seperti Gallarrang Mangngasa Mannyereang Daeng Serang, Gallarrang Songkolo Garancing Daeng Ma’lala, yang biasa disebut Bapak Peto’, dan Gallarrang Moncong Loe “Apabang”. Para Karaeng Palili ini kemudian memproklamirkan perlawanan terhadap kerajaan Gowa. Di tahun 1868, di bawah panji Jimaka, Kare I Yuseng mengerahkan pasukan atau Tu barani Bontonompo untuk melakukan perlawanan dengan tujuan mengembalikan kepemimpinan Gowa agar dipimpin oleh pemimpin yang pro terhadap rakyat dan tidak berpihak kepada kolonial Belanda. Bersama dengan para tokoh terkemuka termasuk Calla karaeng Borong yang merupakan Putera Batara Gowa Karaengta Data, yang saat itu menjadi Karaeng (Regent) Tanralili saling bahu-membahu mengobarkan perlawanan. Pihak Kerajaan Gowa, tetap bersikukuh tidak ingin berpaling dari Belanda, maka perang pun tak terhindarkan, dan pecahlah perang yang lazim disebut sebagai “Bundu ri Mangngasaya” atau perang Mangngasa, dengan kekuatan penuh dari sejumlah pimpinan kerajaan bawahan, mereka terus mengadakan perlawanan. Pihak Sombaya ri Gowa mulai kewalahan menghadapi serangan para patriot anti Belanda ini. Para pejuang selangkah demi selangkah terus mendekati pusat pertahanan Gowa. Khawatir akan menerima kekalahan, dan untuk mempertahankan mahkota dan posisisnya sebagai somba, pihak Gowa yang dibantu oleh pasukan senjata api kolonial Belanda berusaha keras untuk meredam aksi heroisme Kare I Yuseng dan kawan-kawan. Memang tidak dapat dipungkiri, setelah kemenangan Belanda atas Sultan Hasanuddin yang di tandai dengan perjanjian Bungaya. Pihak pemenang perang, yakni Belanda bersama Aru Palakka beserta sekutunya, selalu terlibat dalam setiap kebijakan pemerintah kerajaan Gowa, bahkan sampai kepada sistim pemilihan dan pengangkatan seorang Somba yang menjadi Kaisar dalam kerajaan Gowa. Meski pihak Gowa dan Belanda didukung persenjataan canggih di masa itu, pihak pasukan perlawanan bukannya surut semangatnya. Mereka bahkan semakin meningkatkan perlawanannya dan semakin termotivasi untuk meruntuhkan kepemimpinan boneka Belanda. Mengetahui kondisi pasukan lawannya yang dipelopori oleh Kare I Yuseng, pihak Belanda kemudian menjadikan Kare I Yuseng Daeng Mallingkai sebagai target utama untuk mengakhiri pertempuran ini. Dan ternyata Belanda benar, setelah dilumpuhkan dengan peluru emas, perang Mangngasa kemudian surut. Sejumlah rekannya sesama pemimpin pasukan seperti Gallarrang Mangngasa dan Calla Karaeng Borong berhasil ditangkap dan dipenjarakan. Tidak tanggung-tanggung, oleh pihak kerajaan Gowa, motor penggerak perlawanan ini dikenai hukum pancung. Ini tentu saja dilakukan sebagai upaya Sombaya menegaskan kekuasaannya sekaligus meruntuhkan moral perjuangan para pengikut Kare Bontonompo ini, agar tidak melanjutkan perlawanan. Kepala patriot sejati ini kemudian dibawa kembali oleh para pengikutnya ke Bontonompo untuk dimakamkan di Buttu-Buttu dan dikenal dengan sebutan kuburan patanna butta. Selain pemenggalan kepala, pihak kerajaan Gowa juga menyita Gaukang atau Kalompoang berupa panji yang disebut Jimaka dan Stamboom kerajaan serta menghapuskan jabatan Kare untuk Bontonompo dan menggantinya dengan jabatan Anrong Guru. Meski dikemudian hari panji Jimaka dikembalikan lagi setelah pihak Gowa telah meyakini sudah tidak ada lagi perlawanan dari para pengikut Kare I Yuseng. Kare I Yuseng Daeng Mallingkai, telah mengorbankan jiwanya untuk mewujudkan keyakinannya sebagai seorang patriot. Makamnya yang terletak di Buttu – buttu Kec. Bontonompo Kabupaten Gowa, dikenal sebagai Jera Patanna Butta atau Makam Penguasa Bontonompo. Hingga kini, makamnya tetap dirawat dan dihormati oleh warga Bontonompo dan sekitarnya. Selain itu, makam tokoh yang sejarahnya dikaburkan ini, menjadi monumen dan lambang kekesatriaan putera Bontonompo. Tokoh dalam perang Mangngasa ini diketahui adalah keturunan bangsawan Polongbangkeng, yang silsilahnya masih bisa dilacak hingga I Mappaliku Daeng Saleko, Karaeng Loe ri Malewang (Karaeng Polongbangkeng). Ini bisa dilihat dalam Stamboom yang disahkan oleh Pajonga Daeng Ngalle, Karaeng Polongbangkeng pada 28 Januari 1940 di Palleko. Saat ini wilayah Polongbangkeng berada dalam daerah administratif Kabupaten Takalar. Dalam silsilah tersebut, Kare I Yuseng adalah Putera Karaeng Polongbangkeng, Coke Daeng Malliongi dan Baria Daeng Baine. Baria adalah anak dari Karaeng Polongbangkeng Marewangang Daeng Bura’ne yang merupakan anak dari Mangngambari Kare Gappa, putera I Mappaliku Daeng Saleko. Di Bontonompo, putra bangsawan Polongbangkeng ini memperistrikan Sabbe Daeng Lompo. Keturunan mereka berdua mewarisi karakter kepemimpinan masyarakat dan pemerintahan serta patriot bangsa dari masa ke masa. Seperti kepemimpinan dalam jabatan Anrong Guru di Bontonompo, dan sejumlah jabatan pemerintahan dari zaman perang kemerdekaan, hingga saat ini. Bahkan beberapa keturunannya, telah mewarisi kepemimpinan patriotiknya yakni antara lain Mayor (Purn) TNI AD Mannarima Daeng Situdju, Marsda H Zainuddin Sikaddo Daeng Mattawang, Brigjen TNI AD. Hasanuddin Hanafi Daeng Tinri. AKBP Kahar Muzakkir Daeng Mattawang dan Lettu Lahiya Daeng Lallo. Selain itu, Donggeng Daeng Ngasa yang mewarisi kepemimpinannya dalam bidang pemerintahan yakni menjadi Bupati pertama Kabupaten Takalar sekaligus menjadi peletak dasar pemerintahan dan tata ruang di Takalar pada tahun 1960. Hingga kini, keturunan Kare I Yuseng Daeng Mallingkai masih berperan dalam struktur pemerintahan, baik di kabupaten di Gowa maupun Takalar sampai ke tingkat nasional. Selain itu, rumpun keluarganya tetap dijadikan sebagai pemimpin dikalangan masyarakat khususnya Bontonompo dimana warisan Kalompoang dari Kare Bontonompo, yakni Jimaka masih terjaga dengan baik dan disimpan di Balla lompoa ri Bontonompo.

Kerukunan Keluarga Kare I Yuseng Daeng Mallingkai Ri' Bontonompo

Keberadaan ornamen sejarah pada suatu daerah, pertanda adanya tatanan budaya dan nilai-nilai luhur yang hidup di tengah masyarakat. Pelaku dan peristiwa sejarah menyisahkan riwayat pada masa kejayaannya. Keberadaan sejarah bagi generasi pelanjut bukanlah sepenggal cerita turun temurun, akan tetapi menjadi tanggung jawab mulia sebagai dasar untuk pemikiran bersama. Wujud kebersamaan dalam menjaga dan melestarikan, merupakan simbol yang dapat menyatukan ide, gagasan, gerak dan semangat bersama, demi mengembalikan nilai – nilai luhur Kare Oeseng Daeng Mallingkai sebagai embrio kedaulatan di masa kejayaan Bontonompo, baik dalam kehidupan keluarga maupun bermasyarakat. Sekitar tahun 1868, Oeseng Daeng Mallingkai (baca: I Yuseng Daeng Mallingkai), menjabat kepala Pemerintahan di Bontonompo dengan gelar Kare. Sosok pemberani yang dimilikinya dalam melawan penjajah maupun pemberontakan terhadap ketidak adilan, telah menghantarkan rakyatnya hidup rukun dan damai. Setelah wafat merupakan Kare terakhir, Gelar Kare berubah menjadi Anronggoroe (baca: Anrong Guru). Catatan sejarah Kare Oeseng Daeng Mallingkai, diharapkan dapat dikembangkan sebagai nilai – nilai luhur dalam mencerminkan kepribadian budaya setempat. Melestarikan benda peninggalan bersejarah yang memiliki nilai perjuangan, merupakan salah satu bukti sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Kepahlawanan rakyat Indonesia dalam melawan segala bentuk penjajahan di Nusantara, tak akan ada habisnya untuk digali, meskipun demikian sudah menjadi rahasia umum, dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, banyak tokoh maupun peristiwa heroic yang terjadi namun seakan hilang dan hanya menjadi cerita rakyat yang diwariskan secara turun – temurun. Ini tentu tidak akan lepas dari penguasaan penjajah Belanda dan beberapa pihak yang Pro Belanda di Pasca perjanjian Bungaya. Kecenderungan dalam mengaburkan sejarah kepahlawanan dan atau peristiwa perang yang dikobarkan para tokoh perlawanan terhadap sistem penjajahan. Salah satu peristiwa yang bisa dikatakan masih ditutup – tutupi adalah terjadinya perang Mangngasa atau yang populer disebut “Bundu ri Mangngasaya”. Perang Mangngasa ini melibatkan sejumlah raja – raja bawahan yang biasa biasa disebut “Karaeng Palili”. Para Karaeng palili merasa tidak puas dan tidak senang, atas kepemimpinan Raja Gowa yang saat itu dijabat oleh I Kumala Karaeng Lembang Parang, Sultan Abdul Kadir Mohammad Aidit. Dimana pada masa itu, kepemimpinan Raja Gowa lebih mementingkan hubungan kerjasama dengan pihak Belanda daripada raja – raja bawahannya. Beberapa Karaeng Palili tidak menerima dan merasa ada perlakuan tidak adil. Upaya pemberontakan dan atau perlawanan yang dilakukan oleh Karaeng Palili terhadap kepemimpinan Raja Gowa. Sebagai puncak perlawanan, peperangan di Mangngasa terjadi, atas bantuan Belanda yang diberikan kepada Raja Gowa, perang di Mangngasa berakhir dan dapat diredam. Salah seorang pelopor perang di Mangngasa adalah Kare Oeseng Daeng Mallingkai (baca; Kare I Yuseng Daeng Mallingkai), yang saat itu sebagai kepala pemerintahan Bontonompo dengan gelar Kare Bontonompo.